Kesempatan berikutnya,
Kans tertentu adalah mengajak para krucil menikmati view perkembangan paras sungai. Jangkuk merupakan salah satu pecahan DAS besar Dodokan. Indukan alur sungai besar di bagian up-land sono. Memecah diri menjadi 'selokan' alami dengan 3 nama utama. Ancar, Jangkuk dan Meninting. Ini belum lagi terpecah menjadi beberapa pecahan dan cabang anak sungai (creek). Sehingga, klo diliat dari lansekap rupa bumi ala intipan google, alur sungai akan tampak seperti 'urat-nadi' kehidupan. Sama persis seperti mempelajari konotasi aliran darah di bagan tubuh manusia. Melalui perca-perca pemahaman ilmu meredian tubuh. Pasti-nya lebih njlimet lagi.
Kembali ke fitrah sungai atau kali dalam arti sebenarnya. Sebagai sumber kehidupan yang sangat layak dipertahankan eksistensi-nya. Dipelihara dan dilestarikan. Akan senantiasa mendukung pola kehidupan manusia. Interaksi mutualism. Berantas limbah yang mengotori dan aneka bumbu alasan pendukung lain-nya. Sudah gitu justru mumet sendiri. Bersih itu cumak teori....kita prihatin di-salahkan. yang jelas-jelas pembuang sampah sejati di-bebaskan dengan pola prilaku kebiasaan yang mendarah -daging.
Ah.! sudahkah. tetek-bengek dilematik itu gak perlu jadi penghambat untuk kami bersuka-ria nikmati alur laju sungai. Sekalipun menurut pitutur lain, dikatakan masih ada sungai Unus, brenyok dan Midang. Yang identik masih dalam kawasan kota Mataram. Unus - Brenyok belum begitu familiar bagi saya. Tapi klo kali Midang bisa jadi merujuk pada penamaan desa Midang berada di wilayah pinggiran kota sebelah utara Mataram. yang ini sih ujung"nya menyatu dengan batang tubuh kali utama Meninting.
Menyusuri Jangkuk bisa menjadi wisata alternatif termudah. Sebab kali ini berada paling dekat dengan tempat kami tinggal. Sejak dari kanal muara bisa dengan mudah kami trek. Tapi sayang-nya jalur gak tuntas. Hanya sebagian saja beberapa titik bisa di akses pakai sepeda. Sebagian terputus oleh marak padat pemukiman yang me'lahap' total hingga garis pinggir sepadan, enaknya dikatain pematang sungai saja.
Menyusuri Jangkuk bisa menjadi wisata alternatif termudah. Sebab kali ini berada paling dekat dengan tempat kami tinggal. Sejak dari kanal muara bisa dengan mudah kami trek. Tapi sayang-nya jalur gak tuntas. Hanya sebagian saja beberapa titik bisa di akses pakai sepeda. Sebagian terputus oleh marak padat pemukiman yang me'lahap' total hingga garis pinggir sepadan, enaknya dikatain pematang sungai saja.
Selebihnya kami harus mengambil jalan alternatif melingkar. Kembali ke jalan aspal utama hingga ntar memutar di lintas Udayana. Minggu terlalu padat oleh ajang momen Car Free Day. Sayangnya gak gitu banyak alternatif kegiatan yang dikaitkan dengan tematik normalisasi sungai. Kebanyakan kegiatan semacam aksi festival sungai hanya sebatas segmen acara tertentu. Hiburan musik...parade budaya tradisional dilakukan di pentas apung. Trus esensi dari ajang unjuk pertunjukan tadi kira-kira apa yah? Apa juga bisa merubah prilaku warga untuk kemudian pamali buang sampah ke sungai. Gak juga!
Sampah masih juga nimbun dengan sirkulasi rutinitas-nya. Kalau juga ada gerakan bersih-bersih sungai dilakukan oleh sebagaian kelompok pemerhati dan staf instansi pemerintah sebagai bentuk peran serta kepedulian. Warga sepanjang sempadan di-imbau ikutan. Sudah momen taktis itu lewat, dengan sendiri-nya kembali lagi pada pola kebiasaan. Toh, secara gampang mereka berpikir lugas, ntar itu menjadi kewajiban dinas kebersihan.
Di-pikir-pikir lagi...., memang susah. Kecuali kelak muncul orang-orang terpilih. yang tergerak oleh kesadaran total atas kemauan sendiri. Berjibaku... dan berjuang tanpa pamrih.. gak ada kesan uber target akhir penghargaan tokoh lingkungan.. atau misi ambisi tropi kalpataru. Sembari menunggu pemerhati lingkungan di sepanjang sempadan itu lahir dengan sendirinya. Yang penting sejak dini lebih dikenalkan pada realitas lingkungan.
Keep fight on trash.... let's go gowes...,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar